PublikaNTB.com | Mataram - Sebagai bentuk konsistensi mengkritisi kinerja Polri, Lembaga Pengembangan Wilayah Nusa Tenggaara Barat (LPW NTB) kembali mengadakan agenda Literasi Hukum seri Mimbar Hukum bertajuk “Polisi dalam Pusaran Kekuasaan”, di Kedai Tujuh, Kota Mataram pada, Rabu (07/06/2023).
Kajian tersebut digelar dalam rangka mengkeritisi pelaksanaan fungsi Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dengan mendatangkan sejumlah akademisi dan aktivis Nusa Tenggara Barat.
Narasumber utama pada agenda ini yaitu Taufan selaku Dosen dan Direktur LPW dengan materi “Kekerasan Polisi dan Penegakan hukum”, Ishak Hariyanto, Dosen dan Pengamat Filsafat dengan materi “Kekuasaan dalam Tubuh Kepolisian”.
Baca Juga: Anggaran Puluhan Miliar, Proyek DAK Fisik SD di Lombok Timur Ditargetkan Rampung November Mendatang
Dipandu oleh moderator Uswatun Khasanah atau Badai NTB. Acara tersebut juga dihdiri akademisi sebagai penanggap, L.M. Nazar Fajri, Dosen FIA UNW, bidang kajian kelembagaan, Agus, Dosen UIN Mataram dengan bidang kajian Politik, Hamdi, Dosen bidang kajian Kebijakan Publik, serta perwakili organisasi masyarakat sipil, Dayat, selaku Direktur PKBI NTB.
Hadir pula perwakilan Aliansi Demokrasi Rakyat (Aldera), Koalisi Melawan Kekerasan, Pelanggaran HAM dan Reformasi Polri (Kompak), Organisasi Pemuda dan Mahasiswa, serta diramaikan oleh mahasiswa dan masyarakat umum.
Mengawali paparan, Taufan, mengutip Lord Acton, bahwa “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely. “Kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak korup mutlak", tegasnya.
Baca Juga: Tahap Akhir, BPN Lombok Timur Serahkan Ribuan Sertifikat Tanah kepada Warga Surabaya Utara
Ia mengungkapkan bahwa pengamatan Acton diartikan bahwa semakin besar kekuatan yang dimiliki seseorang, semakin lemah rasa moralitasnya.
“Fungsi Kepolisian dalam UUD NRI 1945 dan UU Polri menunjukan kekuatan besar. UUD NRI, mencantumkan POLRI sebagai alat negara menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum.
“Sehingga rentan penyalahgunaan yang menyeret lemahnya moralitas Polisi. Dari kasus Ferdi Sambo, Tedy Minahasa, Tragedi Kanjuruhan, AKBP Achiruddin, pelaku kekerasan seksual, pengedar narkotika hingga berbagai kekerasan polisi yang sulit dideteksi oleh peradilan”, tuturnya.
Taufan menyampaikan kondisi pada data kekerasan Komnas HAM, Kontras dan Catatan Hitam yang dirilis oleh PBH LPW NTB. Laporan Kontras sejak Juli 2021-Juni 2022, mencatat ada 677 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian, kemudian sepanjang tahun 2022, Komnas HAM mencatat sebanyak 2.580 pengaduan oleh masyarakat terkait dengan dugaan kekerasan yang dilakukan oleh institusi kepolisian.
“Secara kualitatif, kita juga bisa melihat dari Catatan Hitam Kapolda NTB yang dirilis oleh PBH LPW NTB. Ada kasus Muardin korban Pilkades Ricuh, kekerasan pada aksi KOMPAK dan demonstran FPR DS”, ungkapnya.
Artikel Terkait
Korupsi Anggaran Desa, Mantan Kades Lukit Ditahan Polisi
Selama Tahun 2022 Berikut Capaian Kinerja Kantor Imigrasi Kelas I TPI Mataram
HK Lalu Winengan: Pak Mesir Aktivis Hingga Akhir Hayatnya
Hadir di Acara Dialog Publik, Ini Pesan WR 1 UMMAT Untuk Aktivis HMI
Ika Al-Hikma Cabang Lotim Desak DPP Deklarasikan H. Husnan Untuk DPRD Kabupaten Narmada Lingsar